proposal penelitian

Rabu, 06 Juli 2011

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia yang masyarakatnya bersifat majemuk baik dalam adat istiadat, golongan bangsa, suku dan dalam agama masing-masing mempunyai suatu pandangan yang berlainan khususnya dalam hal perkawinan, baik dalam tata cara pelaksanaannya maupun dalam hal penyelesaiannya. Perbedaan ciri khas tersebut berkaitan dengan adanya perbedaan latar belakang sejarah yang mendasari unsur kebudayaan suatu bangsa, akan tetapi perbedaan tersebut bersatu dalam Bhineka Tunggal Ika yang telah menjadi semboyan setiap bangsa Indonesia serta falsafah hidup bahagia.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1 perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai negara yang berdasarkan pancasila, dimana sila yang pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peranan penting, serta membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Perkawinan dalam agama Islam telah diatur dengan baik, dimulai dari bagaimana mencari kriteria bakal calon pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya kala resmi menjadi sang penyejuk hati. Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam).
Perkawinan bagi manusia bukan sekedar acara pemenuhan kebutuhan biologis antara jenis kelamin yang berbeda sebagaimana makhluk ciptaan Allah lainnya, akan tetapi perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang berbahagia dan kekal (penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974), bahkan dalam pandangan masyarakat adat, bahwa perkawinan itu bertujuan untuk membangun, membina dan memelihara hubugan keluarga serta kekerabatan yang rukun dan damai (Tolib,2008: 221).

Kawin lari pada masyarakat suku bugis biasanya terjadi karena keluarga perempuan menolak pinangan pihak laki-laki. Tolakan pinangan ini biasa terjadi karena keluarga perempuan memandang calon pasangan anak perempuannya itu tidak sesuai untuk anaknya karena kemungkinan yang sangat banyak. Pada bentuk perkawinan berupa kawin lari ini, masyarakat suku bugis mengenal istilah malariang ialah membawa gadis lari dan silariang ialah laki-laki dan perempuan sepakat melarikan kawin lari.
Tata cara perkawinan pada masyarakat yang satu berbeda dengan masyarakat yang lain termaksud adat perkawinan suku Bajo yang ada di desa Wanseriwu Kecamatan Tiworo tengah. Penyebab perbedaan tata cara perkawinan pada masyarakat yang satu dengan masyarakat lain adalah karena mempunyai latar belakang kultural yang berbeda.
Kawin lari adalah suatu perkawinan yang terjadi atas kesepakatan pria dan wanita tanpa sepengetahuan orang tua pihak perempuan tetapi kadang-kadang sepengetahuan orang tua pihak laki-laki. Umumnya di Desa Wanseriwu kecamatan Tiworo Tengah kawin lari dilakukan pada malam hari menuju rumah Tokoh Agama atau Tokoh Adat . Kawin lari biasanya dilakukan pada waktu suasana sunyi agar tidak ketahuan oleh pihak keluarga perempuan. Kawin lari ini bertujuan menghindarkan diri dari berbagai keharusan yang ada dalam jalur perkawinan melalui peminangan serta untuk menghindarkan diri dari berbagai rintangan yang datangnya dari orang tua pihak perempuan.
Kasus kawin lari yang terjadi di desa Wanseriwu kecematan Tiworo Tengah Kabupaten Muna berdasarkan data yang diperoleh dari pegawai pencatat nikah desa Wanseriwu Si Hading,S.ag., bahwa dari tahun 2008 sampai 2010 telah terjadi 18 kasus kawin lari. Pada tahun 2008 terjadi 3 kasus, 2009 terjadi 6 kasus dan pada tahun 2010 terjadi 9 kasus. (Sumber data: Kantor Desa Wanseriwu (diolah), 2010). Kasus ini dapat terjadi karena pergaulan hidup kalangan muda yang semakin luas, dan kurangnya kemampuan ekonomi pihak laki-laki untuk melakukan pernikahan yang pada umumnya.
Tata cara perkawinan menurut masyarakat suku Bajo pada umumnya, ternyata tidak dapat dilakukan oleh sebagian laki-laki dan perempuan di desa Wanseriwu Kecamatan Tiworo Tengah. Hal inilah yang memunculkan tata cara perkawinan yang disebut kawin lari (silaiang). Fenomena kawin lari seperti itu telah menjadi alternatif sebagian kalangan muda agar dapat mempercepat rencana perkawinannya, walaupun mendapat hambatan dari orang tua kedua belah pihak.
Penyelesaian masalah kawin lari bersama tersebut dilakukan melalui musyawarah adat. Bagi masyarakat desa Wanseriwu kawin lari yang biasa di sebut “silaiang” menurut Baco (tokoh adat) adalah sebuah bentuk tindakan yang di perbolehkan dalam masyarakat suku Bajo. Fenomena kawin lari di Desa Wanseriwu Kecamatan Tiworo Tengah terjadi sebagai bagian dari suatu perkawinan yang ada dan malah sekarang ini seakan-akan menjadi alternatif untuk memaksa orang tua menyetujui perkawinan mereka. Kawin lari tidak berarti jika laki-laki suka kepada perempuan ia bebas membawa lari perempuan yang dicintainya akan tetapi laki-laki membawa lari perempuan ke rumah imam, selanjutnya memohon kepada tokoh adat atau imam untuk mengurusnya agar mendapatkan restu dari orang tua perempuan atau keluarganya.
Tradisi sebagai kebiasaan memungkinkan terjadi adanya kebiasaan memudahkan perkawinan dengan cara kawin lari bersama atau dengan kata lain memaksakan kehendak kepada pihak keluarga perempuan untuk menerima keadaan tersebut. Fenomena semacam ini membuat sebagian orang tua akan merasa malu kalau anak perempuan mereka tidak dikawinkan karena sudah dibawa lari.
Berdasarkan latar belakang di atas dan pertimbangan semakin meningkat kasus kawin lari sehingga peneliti tergugah untuk mengkaji lebih lanjut tentang kawin lari dan proses penyelesaiannya di desa Wanseriwu Kecamatan Tiworo Tengah. Oleh karena itu penelitian ini akan diarahkan untuk mengangkat sebuah judul : “Kawin Lari (silaiang) dalam masyarakat adat suku Bajo di Desa Wanseriwu Kecamatan Tiworo Tengah”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah penyebab terjadinya kawin lari pada masyarakat adat suku Bajo di Desa Wanseriwu Kecamatan Tiworo Tengah Kabupaten Muna?
2. Bagaimana proses penyelesaian kawin lari pada masyarakat adat suku Bajo di Desa Wanseriwu Kecamatan Tiworo Tengah Kabupaten Muna?








C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa penyebab terjadinya kawin lari pada masyarakat adat suku Bajo di Desa Wanseriwu Kecamatan Tiworo Tengah Kabupaten Muna.
2. Untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian kawin lari pada masyarakat adat suku Bajo di Desa Wanseriwu Kecamatan Tiworo Tengah Kabupaten Muna.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah :
1. Menambah pengetahuan bagi peneliti mengenai penyebab, tata cara perkawinan lari dan penyelesaiannya pada masyarakat Bajo di desa Wanseriwu Kecamatan Tiworo Tengah Kabupaten Muna dan sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang mengadakan penelitian berhubungan dengan kajian perkawinan adat.
2. Sebagai sumber informasi dan bahan bacaan bagi masyarakat luas yang membutuhkan khususnya pada masyarakat Desa Wanseriwu Kecamatan Tiworo Tengah Kabupaten Muna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar